Jumat, 13 Agustus 2010

KISAH KELEDAI CERDIK

Suatu hari keledai milik seorang petani jatuh ke dalam sumur. Hewan itu menangis dengan memilukan selama berjam-jam, semetara si petani memikirkan apa yang harus dilakukannya.

Akhirnya, ia memutuskan, karena hewan itu sudah tua dan sumur juga perlu ditimbun (ditutup - karena berbahaya), maka tidak berguna untuk menolong si keledai. Ia mengajak tetangga-tetangganya untuk datang membantunya. Mereka membawa sekop dan mulai menyekop tanah ke dalam sumur.

Pada mulanya, ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia menangis penuh kengerian. Tetapi kemudian, semua orang takjub, karena si keledai menjadi diam. Setelah beberapa sekop tanah lagi dituangkan ke dalam sumur, si petani
melihat ke dalam sumur dan tercengang karena apa yang dilihatnya. Walaupun punggungnya terus ditimpa oleh bersekop-sekop tanah dan kotoran, si keledai melakukan sesuatu yang menakjubkan. Ia mengguncang-guncangkan badannya agar
tanah yang menimpa punggungnya turun ke bawah, lalu menaiki tanah itu.

Sementara para tetangga si petani terus menuangkan tanah kotor ke atas punggung hewan itu, si keledai terus juga menguncangkan badannya dan melangkah naik. Segera saja, semua orang terpesona ketika si keledai meloncati tepi sumur
dan melarikan diri !

Moral cerita :

Kehidupan terus saja menuangkan tanah dan kotoran kepadamu. Segala macam tanah dan kotoran. Cara untuk keluar dari 'sumur' (kesedihan, masalah, dsb) adalah dengan menguncangkan segala tanah dan kotoran dari diri kita (pikiran, dan hati kita) dan melangkah naik dari 'sumur' dengan menggunakan hal-hal tersebut sebagai pijakan.

Setiap masalah-masalah kita merupakan satu batu pijakan untuk melangkah. Kita dapat keluar dari 'sumur' yang terdalam dengan terus berjuang, jangan pernah menyerah ! Guncangkanlah hal negatif yang menimpa dan melangkahlah naik !!!

KISAH KATAK


Seorang petani masuk kota dan menanyai pemilik sebuah restoran apakah ia bisa membeli sejuta paha kodok. Pemilik restoran itu kaget setengah mati dan bertanya balik, dari mana ia kok bisa mendapatkan paha katak sebegitu banyaknya! Petani itu menjawab : "Di dekat rumahku ada sebuah kolam yang berjubel penuh kodok -- wuihhh, pasti ada jutaan. Semalaman mereka itu mengorek, pokoknya terus menerus berbunyi dan hampir-hampir mmbuatku gila lah!"

Jadi mereka sepakat dan membuat suatu perjanjian dimana dinyata kan bahwa sang petani itu akan memasok paha kodok kerestoran itu, setiap kali kiriman sebanyak 500 untuk beberapa minggu mendatang.

Pada minggu pertama, petani itu kembali kerestoran itu dengan wajah agak lesu dan tanpa semangat, ia membawa serta dua ekor kodok agak kecil.

Pemilik restoran bertanya : "Lohhh......mana kodok yang kau katakan segudang itu ?"

Si petani menjawab : "Ternyata saya salah. Yang ada cuma dua ekor ini. Tapi mereka kok benar-benar membuat keributan luar biasa ya..."


Moral cerita :

Lain kali bila anda dengar orang-orang mengkritik, mencela atau mengolok-olok anda, ingat itu barangkali hanya ributnya dua ekor kodok saja. Ingatlah juga, bahwa probem selalu tampak lebih besar di kegelapan.

Pernahkah anda malam-malam terbaring di ranjang, menguatirkan perkara-perkara yang mencekam anda dan tampaknya seperti bunyi ributnya sejuta kodok ? Kemungkinan sekali, bila fajar menyingsing dan anda pikirkan masalah itu lagi, bisa-bisa anda tertawa sendiri kok semut anda kira gajah.

KISAH KITAB 8 MATA ANGIN


Ada seorang murid yang sudah bertahun-tahun belajar ilmu kebijakan dari seorang guru di sebuah pulau terpencil. Kini ia merasa telah cukup ilmu dan berniat untuk mengabdikan dirinya pada masyarakat di seberang pulau. Singkat kata, ia pamit pada sang guru dan meninggalkan pulau terpencil tersebut.

Beberapa lama kemudian ia mendirikan sebuah perguruan dan memiliki banyak murid pula. Teringat ia pada sang guru, ia ingin menunjukkan hasil pengabdiannya selama ini. Ia lalu menulis sebuah kitab yang berisi ajaran-ajaran kebijakan. Kitab itu diberi judul "Kitab Delapan Mata Angin" karena bila orang mengamalkan isi kitab itu maka ia akan tetap tegar dalam kebenaran meski didera angin badai dari delapan penjuru mata angin. Ia mengutus seorang muridnya untuk mengantarkan kitab itu pada gurunya di seberang pulau.


Sang guru menerima kiriman "Kitab Delapan Mata Angin" dengan suka cita. Namun, setelah membaca isinya, tanpa terduga-duga beliau mencorat-coret sampul kitab itu dengan tulisan : "Kamu tak lebih dari angin kentut belaka". Kemudian Sang guru mengembalikan kitab itu.

Betapa terkejutnya si murid ketika menerima dan membaca tulisan sang guru. Mukanya merah padam. Ia memutuskan untuk menemui gurunya dan meminta penjelasan apa maksud tulisan itu. Bergegas ia melepas tali perahu dan mendayung sendiri menemui gurunya.

Sesampai di sana, ia langsung bertanya pada gurunya, "Apa maksud guru menulis kata-kata kotor seperti ini ?" Jawab sang guru dengan kalem : "Lho..., katanya kamu mampu bertahan dari gempuran angin badai yang datang dari delapan penjuru mata angin. tapi, mengapa, hanya dengan tiupan angin kentut saja, sudah membuatmu terpental dari seberang sana ke pulau terpencil ini, heh..?" Mendengar jawaban gurunya, ia langsung menyesali kesalahannya.

Moral cerita :

Setinggi apa pun kebijakan yang terucap di bibir atau tertulis di buku tak lebih berarti dibandingkan dengan apa yang terpatri dalam hati.

KISAH BURUNG PIPIT

Ketika musim kemarau baru saja mulai, seekor Burung Pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara yang konon kabarnya, udaranya selalu dingin dan sejuk.

Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi.

Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju. Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si Burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat. Dia merintih menyesali nasibnya.


Mendengar suara rintihan, seekor Kerbau yang kebetulan lewat datang menghampirinya. Namun si Burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor Kerbau, dia menghardik si Kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.

Si Kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat diatas burung tersebut. Si Burung Pipit semakin marah dan memaki maki si Kerbau. Lagi-lagi Si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung. Seketika itu si Burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa ia akan mati tak bisa bernapas.

Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernafas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si Burung Pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas puasnya-nya.

Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu bulunya bersih, Si Burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.

Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si Burung, dan tamatlah riwayat si Burung Pipit ditelan oleh si Kucing.

Pesan moral kisah ini :

1. Halaman tetangga yang nampak lebih hijau, belum tentu cocok buat kita.
2. Baik dan buruknya penampilan, jangan dipakai sebagai satu satunya ukuran.
3. Apa yang pada mulanya terasa pahit dan tidak enak, kadang kadang bisa berbalik membawa hikmah yang menyenangkan, dan demikian pula sebaliknya.
4. Ketika kita baru saja mendapatkan kenikmatan, jangan lupa dan jangan terburu nafsu, agar tidak kebablasan.
5. Waspadalah terhadap Orang yang memberikan janji yang berlebihan. Sumber : Anonim

BINTANG LAUT

Ketika fajar menyingsing, seorang lelaki tua berjalan-jalan di pinggir pantai sambil menikmati angin laut yang segar menerpa bibir pantai. Di kejauhan dilihatnya seorang anak sedang memungut bintang laut dan melemparkannya kembali ke dalam air. Setelah mendekati anak itu, lelaki tua itu bertanya heran.

'Mengapa engkau mengumpulkan dan melemparkan kembali bintang laut itu ke dalam air ?', tanyanya.

'Karena bila dibiarkan hingga matahari pagi datang menyengat, bintang laut yang terdampar itu akan segera mati kekeringan', jawab si kecil itu.

'Tapi pantai ini luas dan bermil-mil panjangnya', kata lelaki tua itu sambil menunjukkan jarinya yang mulai keriput ke arah pantai pasir yang luas itu. Lagi pula ada jutaan bintang laut yang terdampar. Aku ragu apakah usahamu itu sungguh mempunyai arti yang besar', lanjut lelaki itu penuh ragu.

Anak kecil itu lama memandang bintang laut yang ada di tangannya tanpa berkata sepatahpun. Lalu dengan perlahan ia melemparkannya ke dalam laut agar selamat dan hidup.

'Saya yakin usahaku sungguh memiliki arti yang besar sekurang-kurangnya bagi yang satu ini', kata si anak kecil itu.

Moral cerita :

Kiita sering mendambakan untuk melakukan sesuatu yang besar, namun sering kali kita lupa bahwa yang besar itu sering dimulai dengan sesuatu yang kecil.

KISAH ARLOJI HILANG

Ada seorang tukang kayu. Suatu saat ketika sedang bekerja, secara tak disengaja arlojinya terjatuh dan terbenam di antara
tingginya tumpukan serbuk kayu. Arloji itu adalah sebuah hadiah dan telah dipakainya cukup lama. Ia amat mencintai arloji tersebut. Karenanya ia berusaha sedapat mungkin untuk menemukan kembali arlojinya. Sambil mengeluh mempersalahkan keteledoran diri sendiri si tukang kayu itu membongkar tumpukan serbuk yang tinggi itu.

Teman-teman pekerja yang lain juga turut membantu mencarinya. Namun sia-sia saja. Arloji kesayangan itu tetap tak ditemukan. Tibalah saat makan siang. Para pekerja serta pemilik arloji tersebut dengan semangat yang lesu meninggalkan bengkel kayu tersebut. Saat itu seorang anak yang sejak tadi memperhatikan mereka mencari arloji itu, datang mendekati tumpukan serbuk kayu tersebut. Ia menjongkok dan mencari. Tak berapa lama berselang ia telah menemukan kembali arloji kesayangan si tukang kayu tersebut. Tentu si tukang kayu itu amat gembira. Namun ia juga heran, karena sebelumnya banyak orang telah membongkar tumpukan serbuk namun sia-sia. Tapi anak ini cuma seorang diri saja, dan berhasil menemukan arloji itu.

"Bagaimana caranya engkau mencari arloji ini ?", tanya si tukang kayu. "Saya hanya duduk secara tenang di lantai. Dalam keheningan itu saya bisa mendengar bunyi tik-tak, tik-tak". Dengan itu saya tahu di mana arloji itu berada", jawab anak itu.

Moral cerita :

Keheningan adalah pekerjaan rumah yang paling sulit diselesaikan selama hidup. Sering secara tidak sadar kita terjerumus dalam seribu satu macam 'kegaduhan'.

KISAH ANAK BERUANG

Seekor anak beruang suka mencari-cari kesalahan. Dengan cekatan, ia akan mampu menunjukkan kesalahan teman-teman dan orang tuanya. Bahkan jika sesuatu terjadi pada dirinya, maka ia menyalahkan teman dan orang tuanya. "Aku jatuh karena Ayah meletakkan ember di sembarang tempat", kata beruang kepada ayahnya saat ia terjatuh di kamar mandi.

"Kamu mengalami musibah ini karena kamu tidak berhati-hati. Oleh karena itu, kalau berjalan kamu harus hati-hati," kata anak beruang kepada seekor kijang yang terkilir kakinya.

Pada suatu hari, anak beruang berjalan-jalan di pinggir hutan. Matanya tertuju pada sekelompok lebah yang mengerumuni sarangnya. "Wah, madu lebah itu pasti sangat manis. Aku akan mengambilnya. Aku akan mengusir lebah-lebah itu!" Ia pun mengambil sebuah galah dan menyodok sarang lebah itu dengan keras. Ribuan lebah merasa terusik dan menyerang anak beruang.

Melihat binatang kecil yang begitu banyak, anak beruang lari terbirit-birit. Lebah-lebah itu tidak membiarkan musuhnya pergi begitu saja. Mereka menghajar dengan sengatan. "Aduh, tolong !"

Karena tak tahan, anak beruang itu menceburkan dirinya ke sungai. Byur! Tak lama kemudian, lebah-lebah itu pergi meninggalkan anak beruang yang kesakitan.

"Mengapa ayah tidak menolongku? Jika ayah sayang padaku, pasti sudah berusaha menyelamatkanku. Semua ini salah ayah!" Ayah beruang diam sejenak, lalu mengambil selembar kertas putih.

"Anakku, apa yang kamu lihat dari kertas ini?"

"Itu hanya kertas putih, tidak ada gambarnya," jawab anak beruang.

Kemudian, ayah beruang mencoret kertas putih dengan sebuah titik berwarna hitam.

"Apa yang kamu lihat dari kertas putih ini ?"

"Ada gambar titik hitam di kertas putih itu!"

"Anakku, mengapa kamu hanya rmelihat satu titik hitam pada kertas putih ini ? Padahal sebagian besar kertas ini berwarna putih. Betapa mudahnya kamu melihat kesalahan ayah! Padahal masih banyak hal baik yang telah ayah lakukan padamu". Lalu ayah beruang berjalan pergi meninggalkan anaknya yang duduk termenung.

Moral kisah ini :

Mari kita belajar mengoreksi diri sendiri sebelum kita menyalahkan orang lain. Jangan hanya melihat sisi buruk suatu masalah, tetapi kita perlu juga melihat sisi baiknya. Mengapa kita cenderung melihat semut di kejauhan, sedangkan gajah di pelupuk mata sendiri tak nampak? (Sumber : Anonim)